Home » » Arjuna Wiwaha Bagian II

Arjuna Wiwaha Bagian II

Arjuna Wiwaha Bagian II – Pada bagian pertama dikisahkan bagaimana kegelisahan Dewa Indra saat menerima ancaman dari Prabu Niwatakawaca yang akan menghancurkan kahyangan Suralaya apabila permintaannya untuk meminang bidadari tercantik di Suralaya yang bernama Dewi Supraba tidak diterima. Seterusnya Batara Guru mengatakan bahawa manusia yang dapat menghancurkan Prabu Niwatakawaca tersebut hanyalah seorang manusia sakti bernama Arjuna.

Arjuna Wiwaha Bagian II

Untuk menguji kesungguhan tapanya, Batara Indra mengutus tujuh bidadari cantik dari Suralaya untuk menguji kesungguhan pertapaan Arjuna di Gunung Indrakila. Akan tetapi usaha bidadari tersebut sia-sia kerana Arjuna sama sekali tidak tergoda sedikit pun daripada tapanya. Ia tidak terpengaruh dengan rayuan daripada para bidadari.

Dewi Supraba dan teman-temannya menjadi putus asa, kepada Sang Hyang Wulan, dewa bulan, Supraba menceritakan keluh kesahnya.Sang Hyang Wulan menaruh belas kasihan kepada Supraba yang putus asa itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dewa itu hanya menjawab,

“Maaf Supraba, tapa Arjuna itu memang sangat khusuk tiada banding. Ia menutup seluruh panca inderanya. Walaupun akan ada petir atau guntur, atau gunung longsor didekatnya ia tidak akan terpengaruh. Seluruh tubuhnya penuh unsur kewaspadaan. Bahkan membangunkannya pun tidak setiap dewa dapat. Jadi engkau tidak perlu kecewa Supraba.” (Sunardi D.M, 1993: 52)

Kegagalan dewi Supraba dan teman-temannya digambarkan dalambentuk puisi oleh Sanusi Pane.

Tapi Parta yang gagah perkasa tetap imannya.
Panca inderanya tidak mengindahkan yang disukainya dulu.
Mendengar melihatnya juga, tetapi tidak menjadi bimbang.
Tidak menodai kesuciannya sebentar pun jua.
Bidadari ringkasnya berputus asa.
Sudah tiga malam mereka itu menggoda terus menerus,
Tapi ia tetap tenang, diam semata.
Mereka pulang bersama-sama, Parta terlukis dalam hatinya.
(Sanusi Pane, 1960: 23).

Atas kesungguhan tapanya, Arjuna dinyatakan lulus ujian dan dihadiahi Panah Pasopati oleh Batara Guru yang digunakan dalam peperangan melawan Prabu Niwatakawaca.

Ini adalah cuplikan perbincangan antara Batara Guru yang menyamar sebagai Resi Padya dengan Arjuna.

“Memang tujuan tapaku antara lain juga mencari senjata sakti untuk digunakan dalam perang Bharata Yudha yang akan datang. Aku bertapa ini juga kerana ingin mendapatkan senjata sakti dan kesaktian dalam peperangan. Dengan senjata sakti tersebut aku ingin mengayomi jagad ini dan ingin agar para pendeta terlindungi serta terhindar dari gangguan berupa apa pun. Dengan demikian mereka dapat menyebarluaskan ajaran-ajaran utama mereka. Aku merasa mempunyai kewajiban menjaga apa yang disebut parahita, yaitu menjaga ketenteraman hati rakyat di seluruh negeri.”

Berkatalah Sang Resi Padya,
“Engkau benar-benar telah melatih dirimu untuk mencapai maksud demikian. Engkau lupa bahwa manusia hidup di dunia itu hanya sebagai wayang kulit. Jadi ada dalang yang telah menggerakkannya. Sang wayang tak dapat menggerakkan dirinya sendiri. Semua bentuk tangis, tawa, sedih, suka, percakapan, bangun, tidur, duduk, berdiri, berjalan, bahkan bangun tidur dari wayang, sang dalanglah yang mengaturnya.”

Berkatalah Raden Arjuna,
“Duh sang Resi, semua ucapanmu benar. Aku bertapa ini bukannya mencari mati. Tugasku di dunia ini masih terlampau banyak. Sebagai seorang kesatria aku harus memahami hakekat hidup ini. Sejak lahir sampai seumurku ini tentu aku telah membuat banyak membuat dosa. Adalah wajar kalau aku berikhtiar untuk mengurangi dosa tersebut. Aku sependapat denganmu bahawa manusia hidup di dunia ini ibarat seperti wayang, jadi ada dalangnya. Aku ingin mendekatkan diriku dengan Sang Dalang tersebut, agar hidupku tidak keblinger, itulah jalan untuk mengurangi dosa dan mawas diri.” (Sunardi D.M, 1993: 52)

Prabu Niwatakawaca sangatlah sakti, saat masih jejaka yang pada waktu itu masih berkedudukan sebagai seorang pangeran, ia bernama Raden Nirbita. Nirbita bermakna seseorang yang selalu takut atau seorang penakut. Kemudian ia rajin dan tekun melakukan topobroto atau bertapa.

Batara Guru atau Sang Hyang Pramesti Guru sangat memperhatikan tapa Raden Nirbita yang sangat tekun itu, sehingga ia menganugerahi suatu kekuatan batin atau daya sakti yang dinamakan Aji Gineng soka Weda. Berkat daya sakti itu ia menjadi kebal terhadap berbagai jenis senjata. Bahkan barang siapa yang memiliki kesaktian itu maka ia tak dapat dibinasakan oleh para yaksa (dewa), asura (iblis atau syaitan yang selalu memerangi manusia), yang dikepalai oleh Mahisa Sura, bahkan tidak pula oleh para Dewa.

Dengan Aji Gineng Soka Weda, Niwatakawaca dapat mengeluarkan ribuan raksasa dari dalam mulutnya sesuai dengan waktu yang dikehendakinya bahkan ia tidak dapat mati.

Setelah menjadi raja raksasa, ia memiliki kerajaan di Manikmantaka atau Imantaka yang terletak di kaki Gunung Semeru. Sang Hyang Pramesti Guru berpesan kepada Niwatakawaca agar berhati-hati dan berwaspada terhadap manusia sakti yang dapat mematikan Aji Gineng Soka Weda miliknya.

Manusia sakti yang dimaksudkan ialah Arjuna. Akan tetapi Niwatakawaca mengabaikan pesan Sang Hyang Pramesti Guru. Ia justeru lupa diri dan menjadi tamak, serakah, sombong, dan berani tidak pada tempatnya. Ia bahkan ingin menaklukan Suralaya, tempat tinggal para Dewa Dewi dan para bidadari. Ia bercita-cita untuk menaklukan Suralaya dan ingin memainkannya sewenang-wenang.

Pada akhir cerita dikisahkan bahawa Prabu Niwatakawaca mati terbunuh di tangan Arjuna kerana terkena Panah Pasopati milik Arjuna yang tepat menancap di ujung lidahnya, sebagaimana kelemahan Prabu Niwatakawaca yang terdapat pada bahagian ujung lidahnya.

Atas kemenangannya tersebut, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Suralaya selama tujuh hari (hitungan di dunia) iaitu sama dengan tujuh bulan di Suralaya. Seterusnya Batara Indra memberinya gelar Prabu Kariti yang bererti orang yang mendapatkan kemuliaan. Selain itu, Arjuna juga dinikahkan dengan tujuh bidadari tercantik di Suralaya yang sebelumnya pernah menggoda pertapaannya di Gunung Indrakila. Bidadari tersebut ialah Dewi Supraba, Dewi Wilutama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Gagarmayang, Dewi Tanjung Biru, dan Dewi Lelengmulat.

Demikian kisah Arjuna Wiwaha, salah satu kisah pewayangan yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena banyak mengandung makna dan falsafah kehidupan. Salah satu yang menjadi titik perhatian adalah keuletan dan ketangguhan Arjuna yang mampu bertahan menghadapi godaan 7 bidadari tercantik dari kahyangan. Bahkan dewa-dewa terpesona dan terpikat oleh kecantikannya sementara Arjuna pada kesehariannya adalah manusia yang suka dengan kecantikan wanita.

Ternyata Arjuna sudah membulatkan tekadnya untuk bertapa demi mendapatkan pusaka sakti dan kesaktian.

Apa hanya dengan kebulatan tekad saja Arjuna mampu menahan berbagai godaan?

Tidak hanya itu saja. Arjuna dalam kisah Arjuna Wiwaha ini digambarkan sebagai manusia yang sudah memahami hakikat diri, alam semesta dan Tuhan sehingga dapat menahan diri dari berbagai godaan.

Sumber : Abdullah Ciptoprawiro. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
     

0 comments:

Post a Comment